Sepertiga
Malam, Dia Untukku
Masih pukul 03.00 WIB
dini hari. Mentari pun belum bertahta di peraduannya, bahkan daun-daun hijau di
belakang rumah masih
kedinginan bermandikan tetesan
embun. Enggan sekali jika terpaksa bangun dari mimpi yang menyemai keindahan dikala
malam hanya untuk kejar target yang katanya “Orang bisa kaya kalau rutin bangun lebih
pagi dari ayam, atau cepet dapat jodoh kalau sesenggukan tengah
malam.” Lah… lah… lah, yaa jadinya ibadah kejar setoran itu.
Tapi kali ini sedikit berbeda, kesannya jadi lebih pengen
cepet-cepet membasuh raga dengan air wudhu dan segera sujud bersimpuh pada
Empu-Nya alam semesta, walau udara lagi dingin-dinginnya. Maklumlah kawan, hati
lagi “Galau” kata anak jaman sekarang nyebutnya begitu. Alasannya, siang tadi ngeliat
doi lagi asyik ngobrol sama ‘Rumput Tetangga’. Ditambah lagi, teguran dari ayah
bunda tentang nilai kuliah yang makin merosot dan beberapa teman pasang wajah Bad
Mood, hmmm. Lengkap sudah galaunya pikiran ini. Belum lagi, berondongan
kata-kata sarat nasihat pun tak hentinya diboyong oleh sang ayah tercinta. Ya,
harusnya itu mbiasa. Namanya juga orangtua, pasti pengen dong anaknya nggak kesaingi oleh
anak-anak tetangga sebelah. Biar dicap sebagai orangtua yang berhasil gitu.
Okelah oke. Fine.
Dengan sempoyongan karena masih
ngantuk, akhirnya basah juga kulit ini oleh guyuran wudhu pertamaku pagi ini. Ku nikmati sepertiga malam itu untuk berkeluh. Tentang
apa saja, apapun yang terlintas dalam hati dan pikiran. Kali ini, hati yang
lebih banyak berbicara. Karena lisan tak mampu mereplika kata-kata yang untuk
diucap. Sepanjang keluhan, muncul pertanyaan-pertanyaan yang entah seperti apa
akan terjawab. Tentang siapa jodoh, jadi apa selepas kuliah, seberapa lama aku
diberi nyawa? Yang jelas, pertanyaan-pertanyaan itu nggak bakal kejawab
kalau belum waktunya. Iya kan kawan? Renungan berakhir saat ta’mir mesjid mengumandangkan
adzan subuh dengan suara nyaringnya yang khas dan rutin terdengar tiap 5 kali
sehari.
Ku ambil sajadah, dan beranjak pergi berjama’ah.
Sepulangnya, sambil jalan, ku nikmati panorama langit kala subuh. Subhanallah,
bermandikan sisa purnama hari itu. Dan sedikit kedamaian ku rasakan dari relung
hati yang penat akan hiruk pikuk urusan duniawi. Situasi ini, setidaknya cukup
untuk merefresh segala memori yang terlampau stress dengan pikiran yang bejibun
nggak karuan.
Handphone berdering, beberapa pesan masuk
yang terabaikan, dan salah satunya dari dia. Maklumlah, lagi ngggak
ada niat untuk membalas. Walhasil, ku non-aktifkan Handphone.
Masalah? Sepertinya biasa saja. Di dapur, selayaknya anak perempuan yang lain.
Ku sempatkan bantu-bantu ibu, wajar kan? Walaupun cuma kebagian sesi
kupas-kupas bawang, potong-potong sayuran atau bolak-balikin gorengan. Ibu yang
sedari tadi diam, akhirnya memulai pembicaraan. “Anaknya ibu Wit
(temen ibu ku) yang perawat itu minggu depan nikahan sama polisi, tetangganya
Ustadz Amir kemarin lamaran ama TNI, nah ponakannya bude Rifah denger-denger udah resepsi sama
anak pejabat. Kok enak-enak gitu yah nak jodohnya.” Curhat
ibu, yang pada intinya ingin aku seperti mereka. Dengan enteng ku jawab “Bu, nggak semua yang kaya
begitu tuh mesti enak hidupnya. Misalnya aja nih, jadi istri polisi. Kalo
polisinya main serong kanan kiri kan rumah
tangga gak karuan, terus kalo TNI, lagi dinas tiba-tiba kena
dooor dan mati, akhirnya menjanda apa lagi anak pejabat, hari gini bu’, pejabat nggak korupsi itu
jarang sekali. Makan uang rakyat, wah bisa malu 7 turunan bu. Hehehe” Ibu cekikian
mendengar jawabanku sembari mengelus kepalaku dan kembali berkata “kamu nih,
paling bisa deh kalau ngeles. Emang Caca
maunya dapet jodoh yang seperti apa?” secepat kilat ku jawab
“masih belum kepikiran bu.” Padahal hati udah kelabakan pengen
nyebutin macem-macem kriterianya yang sholeh, enak dilihat, apa
adanya, jujur, adil, bijaksana, ramah, setia, ngerti keluarga, baik hati, dan
lain sebagainya. Byuh.. byuh.., anak siapa yah yang seperti itu?.
Jam menunjukkan 05.40 WIB. Waktunya mandi, buru-buru melahap
sepotong roti dan pergi. Walaupun pesan ayah hati-hati, tetep aja di jalan
kebut-kebutan. Maklum lah, uber-uberan sama macetnya jalan. Di parkiran kampus,
motor doi udah terparkir anteng lengkap dengan helm silver berlogo “A”. tapi hari ini
temanya lagi cuek. Jadi ya, EGP gitu. Oh ya, perlu diketahui
yah, gak ada hubungan spesial antara saya dan dia. Hanya
saja, saya terlanjur kagum dan ngefans. Mendadak gerogi, jalan sendiri ke
kelas. Takutnya papasan terus jadi salah tingkah.
Alhasil, jalan ala maling, sembunyi-sembunyi gitu.
Niatnya emang ngggak pengen ketemu hari ini, tapi
setan-setan pada berisik ngomporin aku biar cemas
nyari dia. Berhubung yang dicari gak muncul juga, jadilah aku pulang dengan
perasaan yang nggak karuan. Dalam pikir yang amat
panjang, ku putuskan. Mulai hari itu aku tak kan lagi berhubungan dengannya
serta tidak menghiraukan apapun tentang dia. Mulanya memang susah, tapi setelah
beberapa lama nyatanya aku jadi terbiasa. Hanya panjatan doa yang senantiasa ku
haturkan lewat isyarat tak bernada. Dalam penantian, yang begitu panjang.
Sederhana saja, aku selalu berucap “jika dia untuk ku maka dekatkanlah, tapi
jika bukan berilah aku keikhlasan dan jauhkan kami dari godaan setan”. Sebuah
doa yang wajar.
Teman, mungkin ada yang bertanya-tanya seperti apakah dia?.
Lain mata, lain cerita. Tapi apapun itu bagi ku dialah yang ku impikan. Dia
rajin ibadah, enak dilihat, apa adanya, jujur, adil, bijaksana, ramah, setia,
ngerti keluarga, baik hati, dan yang penting dia mampu membuatku menunggu.
Seseorang yang sederhana, dengan senyum yang sederhana namun bagiku dia
istimewa. Bagaikan mutiara yang tersimpan dalam kerang dan jauh di dasar laut.
Entah siapa yang kan mampu menjamahnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu
mendekatkan diri pada Ridho Ilahi. Itulah dia di mataku, dan tanpa
terasa aku telah mengaguminya begitu lama. Tanpa bertatap muka, tanpa
berkomunikasi selama itu. Dan aku masih selalu mengaguminya hingga kini. Karena
begitu lama tak mengetahui tentangnya, aku merasa rindu. Rindu kesederhanaannya, rindu
senyumnya dan rindu untuk bisa menyaksikan ketenangan
sikapnya. Tapi biarlah hanya aku dan Dia yang tau. Aku memang sengaja menjauh
untuk menghindari ketidak ridhoan Allah terhadapku.
Maka suatu ketika, kala rindu mencapai puncaknya, di
penghujung malam sebagaimana biasa. Saat derai hujan menemani keluhku padaNya.
Aku benar-benar meminta, dengan linangan air mata yang jatuh apa adanya.
Sebagaimana Hawa merindukan Adam, aku mengucap “Yaa Allah, yang maha Berkuasa
atas dalamnya hati. Aku telah cukup lama menanti. Aku meminta seperti apa lagi,
Kau pasti lebih tau hatiku. Yaa Allah yang Maha pengasih, halalkan dia untuk
hamba, agar sempurna langkahku di jalan-Mu. Aku tak butuh sosok
rupawan bagaikan Yusuf a.s, atau hartawan bagai Sulaiman a.s, aku hanya minta
dia sebagai imam dalam hidupku kelak. Ampuni jika doaku memaksa Yaa Allah,
hanya pada-Mu aku mengatakanya. Bahwa aku sungguh ikhlas menyayangi dan
menerimanya. Maka izinkan aku hidup bersamanya.” Doa itulah kawan,
yang rutin muncul tiap 5 waktu dan sepertiga malam terakhir.
Setiap saat, sepanjang waktu sejak saat itu dan bertahun-tahun kemudian. Walau
pada akhirnya wisuda memaksa kami tak lagi bernaung dalam institusi yang sama,
doa ku tetap begitu, tak berubah, tetap meminta dia yang sekarang entah dimana
dan seperti apa. Sesekali aku menanyakan kabarnya pada teman, pun mereka telah
lama tak berhubungan. Ku hubungi nomor yang masih tersimpan, ternyata sudah
kadaluarsa tak terpakai. Ku hela napas panjang. Memikirkan kembali semua
kenangan. Tetap tak kutemukan dia dimana. Tiba-tiba bisikan lembut dari dalam
hati meyakinkan diri, dia di sana, di hatiku. Dan akan tetap di sana hingga
saatnya tiba.
Usiaku 22 tahun sekarang, dan aku masih
tetap menunggunya. Masih saja mencintainya seperti bertahun-tahun lalu. Ayah
dan ibuku yang mulai beruban kini lebih sering menanyakan kapan anak gadis
sulungnya ini naik pelaminan, dan aku hanya selalu mengatakan agar mereka
bersabar sembari tersenyum datar. Yaa, kau tau teman. Aku menunggunya begitu
lama dan entah berapa lama lagi untuk ku menunggu walaupun ia tak
tau. Ku putuskan merantau keluar kota. Di ujung kota, sebuah desa terpencil
yang masih kurang pendidikannya. Aku tinggal dan mengabdi di sana, belum lama.
Masih berumur 6 bulan di sana. Dan telpon dari nomor rumah mengejutkan ku yang
sedang mengajar kala itu. Ibu dan ayah meminta aku pulang segera. Setidaknya
dalam dua hari berikutnya aku sudah di rumah. Dengan penuh tanda
tanya di pikiranku, ku tutup telpon itu dan melanjutkan
aktivitas. Seraya berpamitan pada anak-anak didik di sana tuk izin beberapa
hari atau mungkin beberapa bulan. Esoknya, seusai subuh ku tinggalkan tempat
bernaungku untuk kembali ke rumah memenuhi
panggilan orangtua.
Hampir delapan jam perjalanan dari desa itu menuju rumahku dengan
transportasi darat. Setiba di rumah, ibu dan ayah tidak menceritakan apapun
pada ku. Mereka hanya memintaku mandi, sholat lalu istirahat. Malam hari,
barulah mereka memintaku duduk di ruang tengah untuk mendengarkan
alasan mereka memintaku bergegas pulang. “2 hari lalu, seseorang datang kemari.
Dia datang tuk meminangmu. Ayah dan ibu rasa dia orang yang baik dan dia tepat
untukmu nak. Lagi pula sudah terlalu lama kamu menunda untuk menikah dengan
berbagai alasan. Kami takut Allah memanggil kami sebelum sempat melihatmu naik
ke pelaminan” tutur ayah. “ibu dan ayah sepakat tuk menerimanya dan besok pagi,
Insya Allah dia akan kembali bersama orangtuanya.” Sahut ibu yang seketika itu
membuatku terpatung membisu. Syok tak karuan wujudnya dengan perasaan
sedih dan kecewa serta bercampur sedikit amarah aku berkata “ayah dan ibu ini
apa-apan? Soal pernikahan kan bukan hal yang mudah. Salah
langkah bisa jadi kacau hidup ku, bu, yah. Kenapa ayah dan ibu tidak menanyakan paadaku dulu? Kenapa langsung diiyakan? Bagaimana kalau dia bukan orang
baik-baik seperti dugaan ayah dan ibu?” Aku menangis dan
berlari ke kamar. Malam itu, rasanya aku tak ingin hidup tuk sesaat. Ayah dan
ibu yang mengerti perasaanku membiarkan aku sendiri tanpa menggangguku sama
sekali. Aku menangis sejadinya, sesenggukan semalaman. Hingga adzan subuh
ta’mir mesjid dekat rumahku kembali terdengar.
Aku bangkit dari kasur dengan wajah kusut dan mata
berkantung-kantung efek dari tangisan semalam. Ku ambil wudhu dan kembali ke
kamar. Ku laksanakan subuh itu penuh haru. Aku pasrah pada apa yang kan terjadi
nantinya. Detik itu pun, aku masih saja meminta “Yaa Allah, yang maha Berkuasa
atas dalamnya hati.. aku telah cukup lama menanti. Aku meminta seperti apa lagi,
Kau pasti lebih tau hatiku. Yaa Allah yang Maha pengasih, halalkan dia untuk
hamba, agar sempurna langkahku di jalan Mu. Aku tak butuh sosok rupawan
bagaikan Yusuf a.s, atau hartawan bagai Sulaiman a.s, aku hanya minta dia
sebagai imam dalam hidupku kelak. Ampuni jika doaku memaksa. Yaa Allah, hanya
pada-Mu aku mengatakanya. Bahwa aku sungguh ikhlas menyayangi dan
menerimanya. Maka izinkan aku hidup bersamanya.” Masih saja mengharapkan dia.
Lalu aku diam, mengenang aku menatapnya tanpa sengaja, senyum sederhananya yang
sampai kini tak terlihat lagi. Aku pergi mandi, berdandan ala kadarnya dengan
tangis yang masih sesenggukan.
Pukul 9 pagi minggu itu, ibu mengetuk kamarku. Memintaku
keluar dan menemui tamu yang baru saja masuk dalam rumah. Saat itu pun aku masih
mengharapkannya. Ibu memeluk ku erat. Menatapku dengan senyum dan menuntunku
keluar kamar. Langkah terasa berat, lorong rumah pun terasa sepanjang tembok
China. Aku berjalan dengan kepala tertuduk tanpa berniat mengangkatnya
sedikitpun.
Mataku masih sembab dan ibu mendudukkan ku di antara ayah
dan ibu. “ini putri kami, mohon maaf masih lesu. Mungkin masih capek karena
baru pulang dari rantau kemarin” ucap ayahku mencairkan suasana. Tiga
orang di hadapanku itu nampaknya sibuk memperhatikan wajahku yang sedari tadi
tertunduk. Ibu memintaku mengucap salam pada mereka. Dan kuucap itu tanpa
irama. Dalam pembicaraan yang panjang menit-menit berikutnya, aku tetap
tertunduk dan membayangkan senyum sederhana milik seseorang di luar sana. Tak
lama kemudian, ibu dan ayah mengisyaratkan agar aku menegakkan kepala agar
mereka bisa mengenaliku. Perlahan ku angkat kepala walau dengan terpaksa. Ku
amati detail ujung kaki orang di hadapanku ini. Semakin ke atas, dan terhenti
di pandanganku terhadap senyum itu. Hey, sepertinya aku mengenalinya. Aku
pernah melihat senyum itu sebelumnya. Dan, ya memang itu lah senyum
yang aku tunggu selama ini. Sekarang, dia benar-benar di sini. Dengan hati
terkejut, haru dan bahagia. Ku sematkan senyum penuh takjub di bibirku.
Butiran air mata membasahi wajah, aku mengenalinya. Dia di
sini, apa dia benar-benar di sini? Dia tersenyum padaku. Dan senyumnya masih
seperti dulu. Aku bahagia bercampur haru, bagaimana bisa? Entahlah. Tapi dia
benar-benar nyata. Dia datang pada orangtua ku tuk memintaku dan beberapa waktu
kemudian kami dihalalkan dalam ikatan suci layaknya Muhammad dan Khodijah. Aku
bahagia tak terkira. Tuhan mengijabah doaku. Dia benar-benar untuk ku.