Welcome to Catatan Rahma

Rabu, 08 April 2015

Pemilik Hati..



Kepada pemilik hati,
Hai, selamat pagi. Aku ingin menyapamu dengan sederhana. Kucurahkan rindu melalui pesan singkat. Bukankah itu akan membuatmu tenang di sana, mengabarkan kalau aku baik-baik saja di sini. Aku selalu berharap kau membalasnya, meski pada kenyataannya kau tetap tak membalas pesan singkatku. Aku tetap menunggu.

Asal kamu tau, ketika aku menunggu balasanmu, apa yanng kulakukan adalah selalu membaca ulang pesan yang kau kirimkan, pesan itu masih tersimpan rapi.
Kenapa kamu berubah? Bahkan tak membalas pesanku.

Hai, selamat siang. Sejak pagi aku masih menunggu. Sambil menghitung waktu dan menabung rindu menunggu kabarmu. Entahlah, kau pergi kemana. Mungkin, kau masih tenggelam dengan kesibukanmu. Aku harap kau baik-baik saja di sana. Aku selalu berharap bisa tetap tegar, yakin, serta berpikir positif tentang semua ini.

Belum ada kabar, aku menantimu penuh debar. Resah menantimu penuh sabar. Tak ada yang lebih tabah, selain menunggu angin mengirimkan rinduku.

Hai, selamat malam. Aku masih menunggu dan tetap kau abaikan. Aku ingin kau menelponku sehingga aku bisa mendengar suaramu. Tapi, kau seakan tak peduli. Sebenarnya, aku ingin bercerita banyak hal malam ini.

Rasanya itu takkan pernah terjadi lagi. Kau tenggelam oleh kesibukanmu dan melupakanku. Aku tak pernah bosan menunggumu hingga larut, sekedar mendengar suaramu dan perasaanku tak pernah surut. Rindu ini yang berkehendak, memaksaku tetap bertahan meski tanpa kepastian.

Aku ingin mengembalikan ingatanmu tentang apa yang pernah kita lewati bersama. Hari demi hari yang kita jalani bersama. Tentang perasaan yang sempat meragu dan kau datang menyakinkanku. Aku sadar, kau begitu berarti bahkan sebelum kau pergi. Diam-diam aku masih berharap kau kembali, atau setidaknya memberiku kabar sekali.

Apakah kau lelah dan ingin menyerah? Sedangkan aku di sini menanti dengan tulus. Aku ingin hubungan kita seperti sediakala, mengembalikan senyum yang hilang dan canda tawa.

Kini aku menyapamu. Aku yang menantikanmu sejak pagi. Kemudian, menghitung waktu sampai siang hari. Kemudian, menghitung waktu sampai siang hari. Tetap bertahan merindukanmu sampai petang. Aku melakukan apa yang dulu kau lakukan, menanyakanmu, mencemaskanmu, mengkhawatirkanmu, dan memendam cemburu. Lalu, kau ke mana? Sudah seharian lenyap tanpa jejak tak terlihat.

Sadarkah kau kalau setiap hubungan, ada aku dan kamu, menjadi kita. Bukan hanya aku di sini yang mempertahankanmu. Bukan hanya aku yang mengingatkanmu tentang menjaga hati dan perasaan. Bukan hanya aku yang setia dan percaya tentang cinta.

Mungkin, kau tengah dilanda jenuh dan perasaanmu kini merapuh. Pernahkah kau berpikir semalaman aku tak sanggup memejamkan mata hanya menunggu kabarmu? Aku masih tetap setia sampai bintang mampu menutup mata dan terlelap di angkasa.

Pernahkah kau sadari kalau aku tertatih mempertahankanmu, tapi aku tak pernah menyerah untuk pergi, Karena aku ingin hidup dalam mimpi-mimpimu..


Ajariku Menjadi Muslimah

             
Untuk kesekian kalinya surat-surat ini kutulis di atas kertas putih kosong. Ya, kertas itu kosong setelah beberapa tahun silam kucoret-coret dengan tinta kepahitan. Yang kusebut kenangan terindah, namun kini semua itu menjelma jadi tusukan duri yang hampir rapuh. Hingga kubiarkan saja rapuh, agar ia segera hilang dari ingatanku. Ku genggam jiwa yang kusebut cinta, agar ia tetap menjadi penghuni di hatiku yang renta ini. Ku genggam senyuman insan yang kumiliki agar ia memperindah lembah hati yang sunyi ini menjadi seberkas bianglala. Sangkaku salah. Genggaman semakin erat cinta itu semakin pudar, hilang. Senyum itu semakin hambar aku sruput bak kopi hitam yang mendingin sedari dulu.
Aku lepas!
Aku hilang kendali!
Aku jatuh, Sakit!

Aku berteriak seperti burung cangak yang meneriakkan suaranya di malam yang pekat.
Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan, atau jajanannya.
Sesekali ku panggil ibu..
Sesekali ku gapai ibu..
Sesekali ku bertelepati dengan ibu..

Namun ibu tetaplah jauh dari hatiku. Tetaplah di sudut kota kelahiranku, dan aku. Aku di sudut kota yang ku sebut lembah sunyi. Lembah sunyi yang menghilangkan cinta dari hatiku. Lembah sunyi yang menyudutkanku terus menerus semakin dalam, dalam, dan dalam. Tanpa penerangan, tanpa lentera. Namun aku masih memgang sebuah tongkat yang diturunkan dari syurga, Ibu. Tongkat itu adalah ibu.

Di dalam lembah sunyi, ku terus berjalan menyusuri lorong waktu. Yang ku tahu waktu itu seperti kereta yang hanya berhenti di stasiun saja. Setelah ia pergi, maka ia tidak akan peduli dengan penumpangnya yang ketinggalan. Aku tidak mau! Aku tidak mau ketinggalan waktu itu. Aku bangkit dan berjalan di atas kerikil-kerikil tajam yang terinjak kakiku. Kemana? Untuk apa? dan pada siapa aku akan melabuhkan diriku ini. Allah. Allah yang akan menampungku, bebanku, tangisku, juga semua yang ku angkut bersama jiwa yang tak sepadan dengan-NYA.

Terus dan terus ku melaju. Akhirnya kutemukan setitik cahaya pengganti hilangnya Cintaku. Persahabatan. Persahabatan yang kurasakan sungguh ini baru pertama kali. Kuraba ia sangat membingungkanku. Bagaimana tidak? Aku yang ingin berbagi kasih bersamanya, namun mereka menghadirkan sekelumit cinta. Antara segitiga yang ku tahu tidak akan menemukan kesejajaran. Persahabatan yang menyita pikirku tidak sejalan dengan nuraniku. Aku telah dihadapkan dengan persimpangan. Arah mana yang akan aku tapaki? Atau aku akan berputar arah yang telah jauh aku tinggalkan? “TIDAK!!” teriaku dalam hati. Aku tidak akan berputar arah lagi. Aku akan terus berjalan, berjalan dan berjalan mengikuti lorong waktu itu. Aku yakin lorong waktu itu belumlah sampai pada tujuanku. Benar. Itu belum sampai.

Ah, aku tidak peduli lagi dengan persahabatan yang menyita waktuku itu. Yang menghadirkan persimpangan di hadapku. Kuteruskan saja jalan ku, ku lanjutkan saja menjadi masinis yang mengemudikan kereta ku. Lama, ya terlalu lama aku mengemudikannya. Terkadang aku lelah, terkadang aku jenuh, terkadang aku sepi. Tapi, tunggu! Bukankah di depan itu ada setitik cahaya yang bisa kutangkap dengan mataku. Senyumku renyah saat kutemui itu memang benar-benar cahaya. Cahaya yang awalnya memberi kehangatan bagiku. Cahaya yang awalnya memberi penerangan bagi jalanku. Cahaya yang kurasakan bahagia bila ia mengecup hatiku. Cahaya yang mencuatkan cinta untukku. Bahagia bukan? YA, aku bahagia atas hadirnya cahaya itu. Cahaya yang ku sebut Cinta. CINTA? lagi-lagi cinta. Tidak.. ini bukan cinta. Ini adalah sepercik dari kilatan cahaya sejati yang aku rasakan sesaat saja.

Seiring waktu yang berputar namun pasti. Aku merasakan lagi kehambaran, keredupan atas cahaya itu. Semakin hari semakin gelap, pekat. Cahaya itu hilang, melayang tiada kudapatkan lagi. Kumencari-cari sampai ke sela tumpukan jerami, namun tiada kutemui. Kutanyai pada malam-malam yang berbintang, tetap saja ia membisu. Atau cahaya itu menyinggahi hati yang lain, setelah tahu hatiku ini terasa hambar, pahit.

Aku terduduk lesu menyaksikan cahaya itu menerangi hati yang lain. Hingga mata ini menghadiahkan hujan yang tiada reda untuk kuusap sekilas saja. Ranting yang mulai mencabangkan akar-akar cinta, kini merapuh lagi. Bunga yang ingin terkecup oleh wangi cahaya cinta, akhirnya layu juga. Hingga ku terbangun dari mimpiku, dan menyusuri lorong waktu kembali. Sekelumit cahaya-cahaya cinta itu hanyalah hilirnya saja. Biar kubawa sepenuh hatiku yang hancur ini berjalan menemui hulu sang pencipta Cinta. Karena aku tahu cinta suci itu akan bertumpu pada ALLAH..