Welcome to Catatan Rahma

Rabu, 31 Desember 2014

Sepertiga Malam, Dia Untukku



Sepertiga Malam, Dia Untukku
Masih pukul 03.00 WIB dini hari. Mentari pun belum bertahta di peraduannya, bahkan daun-daun hijau di belakang rumah masih kedinginan  bermandikan tetesan embun. Enggan sekali jika terpaksa bangun dari mimpi yang menyemai keindahan dikala malam hanya untuk kejar target yang katanya “Orang bisa kaya kalau rutin bangun lebih pagi dari ayam, atau cepet dapat jodoh kalau sesenggukan tengah malam.” Lah… lah… lah, yaa jadinya ibadah kejar setoran itu.
Tapi kali ini sedikit berbeda, kesannya jadi lebih pengen cepet-cepet membasuh raga dengan air wudhu dan segera sujud bersimpuh pada Empu-Nya alam semesta, walau udara lagi dingin-dinginnya. Maklumlah kawan, hati lagi “Galau” kata anak jaman sekarang nyebutnya begitu. Alasannya, siang tadi ngeliat doi lagi asyik ngobrol sama ‘Rumput Tetangga’. Ditambah lagi, teguran dari ayah bunda tentang nilai kuliah yang makin merosot dan beberapa teman pasang wajah Bad Mood, hmmm. Lengkap sudah galaunya pikiran ini. Belum lagi, berondongan kata-kata sarat nasihat pun tak hentinya diboyong oleh sang ayah tercinta. Ya, harusnya itu mbiasa. Namanya juga orangtua, pasti pengen dong anaknya nggak kesaingi oleh anak-anak tetangga sebelah. Biar dicap sebagai orangtua yang berhasil gitu. Okelah oke. Fine.
Dengan sempoyongan karena masih ngantuk, akhirnya basah juga kulit ini oleh guyuran wudhu pertamaku pagi ini. Ku nikmati sepertiga malam itu untuk berkeluh. Tentang apa saja, apapun yang terlintas dalam hati dan pikiran. Kali ini, hati yang lebih banyak berbicara. Karena lisan tak mampu mereplika kata-kata yang untuk diucap. Sepanjang keluhan, muncul pertanyaan-pertanyaan yang entah seperti apa akan terjawab. Tentang siapa jodoh, jadi apa selepas kuliah, seberapa lama aku diberi nyawa? Yang jelas, pertanyaan-pertanyaan itu nggak bakal kejawab kalau belum waktunya. Iya kan kawan? Renungan berakhir saat ta’mir mesjid mengumandangkan adzan subuh dengan suara nyaringnya yang khas dan rutin terdengar tiap 5 kali sehari.
Ku ambil sajadah, dan beranjak pergi berjama’ah. Sepulangnya, sambil jalan, ku nikmati panorama langit kala subuh. Subhanallah, bermandikan sisa purnama hari itu. Dan sedikit kedamaian ku rasakan dari relung hati yang penat akan hiruk pikuk urusan duniawi. Situasi ini, setidaknya cukup untuk merefresh segala memori yang terlampau stress dengan pikiran yang bejibun nggak karuan.
Handphone berdering, beberapa pesan masuk yang terabaikan, dan salah satunya dari dia. Maklumlah, lagi ngggak ada niat untuk membalas. Walhasil, ku non-aktifkan Handphone. Masalah? Sepertinya biasa saja. Di dapur, selayaknya anak perempuan yang lain. Ku sempatkan bantu-bantu ibu, wajar kan? Walaupun cuma kebagian sesi kupas-kupas bawang, potong-potong sayuran atau bolak-balikin gorengan. Ibu yang sedari tadi diam, akhirnya memulai pembicaraan. “Anaknya ibu Wit (temen ibu ku) yang perawat itu minggu depan nikahan sama polisi, tetangganya Ustadz Amir kemarin lamaran ama TNI, nah ponakannya bude Rifah denger-denger udah resepsi sama anak pejabat. Kok enak-enak gitu yah nak jodohnya.” Curhat ibu, yang pada intinya ingin aku seperti mereka. Dengan enteng ku jawab “Bu, nggak semua yang kaya begitu tuh mesti enak hidupnya. Misalnya aja nih, jadi istri polisi. Kalo polisinya main serong kanan kiri kan rumah tangga gak karuan, terus kalo TNI, lagi dinas tiba-tiba kena dooor dan mati, akhirnya menjanda apa lagi anak pejabat, hari gini bu’, pejabat nggak korupsi itu jarang sekali. Makan uang rakyat, wah bisa malu 7 turunan bu. Hehehe” Ibu cekikian mendengar jawabanku sembari mengelus kepalaku dan kembali berkata “kamu nih, paling bisa deh kalau ngeles. Emang Caca maunya dapet jodoh yang seperti apa?” secepat kilat ku jawab “masih belum kepikiran bu.” Padahal hati udah kelabakan pengen nyebutin macem-macem kriterianya yang sholeh, enak dilihat, apa adanya, jujur, adil, bijaksana, ramah, setia, ngerti keluarga, baik hati, dan lain sebagainya. Byuh.. byuh.., anak siapa yah yang seperti itu?.
Jam menunjukkan 05.40 WIB. Waktunya mandi, buru-buru melahap sepotong roti dan pergi. Walaupun pesan ayah hati-hati, tetep aja di jalan kebut-kebutan. Maklum lah, uber-uberan sama macetnya jalan. Di parkiran kampus, motor doi udah terparkir anteng lengkap dengan helm silver berlogo “A”. tapi hari ini temanya lagi cuek. Jadi ya, EGP gitu. Oh ya, perlu diketahui yah, gak ada hubungan spesial antara saya dan dia. Hanya saja, saya terlanjur kagum dan ngefans. Mendadak gerogi, jalan sendiri ke kelas. Takutnya papasan terus jadi salah tingkah. Alhasil, jalan ala maling, sembunyi-sembunyi gitu.
Niatnya emang ngggak pengen ketemu hari ini, tapi setan-setan pada berisik ngomporin aku biar cemas nyari dia. Berhubung yang dicari gak muncul juga, jadilah aku pulang dengan perasaan yang nggak karuan. Dalam pikir yang amat panjang, ku putuskan. Mulai hari itu aku tak kan lagi berhubungan dengannya serta tidak menghiraukan apapun tentang dia. Mulanya memang susah, tapi setelah beberapa lama nyatanya aku jadi terbiasa. Hanya panjatan doa yang senantiasa ku haturkan lewat isyarat tak bernada. Dalam penantian, yang begitu panjang. Sederhana saja, aku selalu berucap “jika dia untuk ku maka dekatkanlah, tapi jika bukan berilah aku keikhlasan dan jauhkan kami dari godaan setan”. Sebuah doa yang wajar.
Teman, mungkin ada yang bertanya-tanya seperti apakah dia?. Lain mata, lain cerita. Tapi apapun itu bagi ku dialah yang ku impikan. Dia rajin ibadah, enak dilihat, apa adanya, jujur, adil, bijaksana, ramah, setia, ngerti keluarga, baik hati, dan yang penting dia mampu membuatku menunggu. Seseorang yang sederhana, dengan senyum yang sederhana namun bagiku dia istimewa. Bagaikan mutiara yang tersimpan dalam kerang dan jauh di dasar laut. Entah siapa yang kan mampu menjamahnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu mendekatkan diri pada Ridho Ilahi. Itulah dia di mataku, dan tanpa terasa aku telah mengaguminya begitu lama. Tanpa bertatap muka, tanpa berkomunikasi selama itu. Dan aku masih selalu mengaguminya hingga kini. Karena begitu lama tak mengetahui tentangnya, aku merasa rindu. Rindu kesederhanaannya, rindu senyumnya dan rindu untuk bisa menyaksikan ketenangan sikapnya. Tapi biarlah hanya aku dan Dia yang tau. Aku memang sengaja menjauh untuk menghindari ketidak ridhoan Allah terhadapku.
Maka suatu ketika, kala rindu mencapai puncaknya, di penghujung malam sebagaimana biasa. Saat derai hujan menemani keluhku padaNya. Aku benar-benar meminta, dengan linangan air mata yang jatuh apa adanya. Sebagaimana Hawa merindukan Adam, aku mengucap “Yaa Allah, yang maha Berkuasa atas dalamnya hati. Aku telah cukup lama menanti. Aku meminta seperti apa lagi, Kau pasti lebih tau hatiku. Yaa Allah yang Maha pengasih, halalkan dia untuk hamba, agar sempurna langkahku di jalan-Mu. Aku tak butuh sosok rupawan bagaikan Yusuf a.s, atau hartawan bagai Sulaiman a.s, aku hanya minta dia sebagai imam dalam hidupku kelak. Ampuni jika doaku memaksa Yaa Allah, hanya pada-Mu aku mengatakanya. Bahwa aku sungguh ikhlas menyayangi dan menerimanya. Maka izinkan aku hidup bersamanya.” Doa itulah kawan, yang rutin muncul tiap 5 waktu dan sepertiga malam terakhir. Setiap saat, sepanjang waktu sejak saat itu dan bertahun-tahun kemudian. Walau pada akhirnya wisuda memaksa kami tak lagi bernaung dalam institusi yang sama, doa ku tetap begitu, tak berubah, tetap meminta dia yang sekarang entah dimana dan seperti apa. Sesekali aku menanyakan kabarnya pada teman, pun mereka telah lama tak berhubungan. Ku hubungi nomor yang masih tersimpan, ternyata sudah kadaluarsa tak terpakai. Ku hela napas panjang. Memikirkan kembali semua kenangan. Tetap tak kutemukan dia dimana. Tiba-tiba bisikan lembut dari dalam hati meyakinkan diri, dia di sana, di hatiku. Dan akan tetap di sana hingga saatnya tiba.
Usiaku 22 tahun sekarang, dan aku masih tetap menunggunya. Masih saja mencintainya seperti bertahun-tahun lalu. Ayah dan ibuku yang mulai beruban kini lebih sering menanyakan kapan anak gadis sulungnya ini naik pelaminan, dan aku hanya selalu mengatakan agar mereka bersabar sembari tersenyum datar. Yaa, kau tau teman. Aku menunggunya begitu lama dan entah berapa lama lagi untuk ku menunggu walaupun ia tak tau. Ku putuskan merantau keluar kota. Di ujung kota, sebuah desa terpencil yang masih kurang pendidikannya. Aku tinggal dan mengabdi di sana, belum lama. Masih berumur 6 bulan di sana. Dan telpon dari nomor rumah mengejutkan ku yang sedang mengajar kala itu. Ibu dan ayah meminta aku pulang segera. Setidaknya dalam dua hari berikutnya aku sudah di rumah. Dengan penuh tanda tanya di pikiranku, ku tutup telpon itu dan melanjutkan aktivitas. Seraya berpamitan pada anak-anak didik di sana tuk izin beberapa hari atau mungkin beberapa bulan. Esoknya, seusai subuh ku tinggalkan tempat bernaungku untuk kembali ke rumah memenuhi panggilan orangtua.
Hampir delapan jam perjalanan dari desa itu menuju rumahku dengan transportasi darat. Setiba di rumah, ibu dan ayah tidak menceritakan apapun pada ku. Mereka hanya memintaku mandi, sholat lalu istirahat. Malam hari, barulah mereka memintaku duduk di ruang tengah untuk mendengarkan alasan mereka memintaku bergegas pulang. “2 hari lalu, seseorang datang kemari. Dia datang tuk meminangmu. Ayah dan ibu rasa dia orang yang baik dan dia tepat untukmu nak. Lagi pula sudah terlalu lama kamu menunda untuk menikah dengan berbagai alasan. Kami takut Allah memanggil kami sebelum sempat melihatmu naik ke pelaminan” tutur ayah. “ibu dan ayah sepakat tuk menerimanya dan besok pagi, Insya Allah dia akan kembali bersama orangtuanya.” Sahut ibu yang seketika itu membuatku terpatung membisu. Syok tak karuan wujudnya dengan perasaan sedih dan kecewa serta bercampur sedikit amarah aku berkata “ayah dan ibu ini apa-apan? Soal pernikahan kan bukan hal yang mudah. Salah langkah bisa jadi kacau hidup ku, bu, yah. Kenapa ayah dan ibu tidak menanyakan paadaku dulu? Kenapa langsung diiyakan? Bagaimana kalau dia bukan orang baik-baik seperti dugaan ayah dan ibu?” Aku menangis dan berlari ke kamar. Malam itu, rasanya aku tak ingin hidup tuk sesaat. Ayah dan ibu yang mengerti perasaanku membiarkan aku sendiri tanpa menggangguku sama sekali. Aku menangis sejadinya, sesenggukan semalaman. Hingga adzan subuh ta’mir mesjid dekat rumahku kembali terdengar.
Aku bangkit dari kasur dengan wajah kusut dan mata berkantung-kantung efek dari tangisan semalam. Ku ambil wudhu dan kembali ke kamar. Ku laksanakan subuh itu penuh haru. Aku pasrah pada apa yang kan terjadi nantinya. Detik itu pun, aku masih saja meminta “Yaa Allah, yang maha Berkuasa atas dalamnya hati.. aku telah cukup lama menanti. Aku meminta seperti apa lagi, Kau pasti lebih tau hatiku. Yaa Allah yang Maha pengasih, halalkan dia untuk hamba, agar sempurna langkahku di jalan Mu. Aku tak butuh sosok rupawan bagaikan Yusuf a.s, atau hartawan bagai Sulaiman a.s, aku hanya minta dia sebagai imam dalam hidupku kelak. Ampuni jika doaku memaksa. Yaa Allah, hanya pada-Mu aku mengatakanya. Bahwa aku sungguh ikhlas menyayangi dan menerimanya. Maka izinkan aku hidup bersamanya.” Masih saja mengharapkan dia. Lalu aku diam, mengenang aku menatapnya tanpa sengaja, senyum sederhananya yang sampai kini tak terlihat lagi. Aku pergi mandi, berdandan ala kadarnya dengan tangis yang masih sesenggukan.
Pukul 9 pagi minggu itu, ibu mengetuk kamarku. Memintaku keluar dan menemui tamu yang baru saja masuk dalam rumah. Saat itu pun aku masih mengharapkannya. Ibu memeluk ku erat. Menatapku dengan senyum dan menuntunku keluar kamar. Langkah terasa berat, lorong rumah pun terasa sepanjang tembok China. Aku berjalan dengan kepala tertuduk tanpa berniat mengangkatnya sedikitpun.
Mataku masih sembab dan ibu mendudukkan ku di antara ayah dan ibu. “ini putri kami, mohon maaf masih lesu. Mungkin masih capek karena baru pulang dari rantau kemarin” ucap ayahku mencairkan suasana. Tiga orang di hadapanku itu nampaknya sibuk memperhatikan wajahku yang sedari tadi tertunduk. Ibu memintaku mengucap salam pada mereka. Dan kuucap itu tanpa irama. Dalam pembicaraan yang panjang menit-menit berikutnya, aku tetap tertunduk dan membayangkan senyum sederhana milik seseorang di luar sana. Tak lama kemudian, ibu dan ayah mengisyaratkan agar aku menegakkan kepala agar mereka bisa mengenaliku. Perlahan ku angkat kepala walau dengan terpaksa. Ku amati detail ujung kaki orang di hadapanku ini. Semakin ke atas, dan terhenti di pandanganku terhadap senyum itu. Hey, sepertinya aku mengenalinya. Aku pernah melihat senyum itu sebelumnya. Dan, ya memang itu lah senyum yang aku tunggu selama ini. Sekarang, dia benar-benar di sini. Dengan hati terkejut, haru dan bahagia. Ku sematkan senyum penuh takjub di bibirku.
Butiran air mata membasahi wajah, aku mengenalinya. Dia di sini, apa dia benar-benar di sini? Dia tersenyum padaku. Dan senyumnya masih seperti dulu. Aku bahagia bercampur haru, bagaimana bisa? Entahlah. Tapi dia benar-benar nyata. Dia datang pada orangtua ku tuk memintaku dan beberapa waktu kemudian kami dihalalkan dalam ikatan suci layaknya Muhammad dan Khodijah. Aku bahagia tak terkira. Tuhan mengijabah doaku. Dia benar-benar untuk ku.

Rindu dan Kamu




Rindu dan Kamu
            Aku berdiri terdiam di atas trotoar ini. Berusaha mengabaikan suara-suara bising dari keramaian jalanan. Sebenarnya aku takut, tapi aku mencoba untuk menguatkan hati. Kututup mataku, untuk mengingat-ingat dirimu. Aku ingat saat itu, senyumnya, tatapan teduhnya, tawa lepasnya, semua tentangnya. Aku ingat, setiap menit yang kita lalui. Dia berarti bagiku, namun nampaknya takdir belum membiarkan kita bersatu. Terkadang aku berpikir, buat apa Tuhan mempertemukan dua orang namun setelah itu berpisah? Sakit. Semuanya sudah aku rasakan, tangisan dan tawa itu.
            Dengan hati-hati aku langkahkan kakiku, menyusuri ruas-ruas trotoar ini. Aku coba memutar kembali semuanya satu per satu. Tentang ‘kita’ yang dulu pernah bersama. Aku ingat, saat pertama kali kau tertawa, membicarakan hal-hal bodoh tentang dirimu. Menarik tanganku agar aku tidak tertinggal di kerumunan itu. Mengikat tali sepatuku agar tidak terinjak olehku dan memakan es krimku ketika aku tidak kuat untuk menghabiskannya. “Kasian nih es krimnya, kamu tega ya biarin es krimnya meleleh. Aku makan ya.” Ucapmu dengan sedikit menggodaku. Itu dulu. Dia selalu begitu. Selalu ada alasan untuk memakan es krimku! Sebel. Terlalu banyak memori tentangmu. Aku masih mengingatnya, tiap hal-hal kecil yang masih terekam jelas dikepalaku. Aneh.
            Langkah kakiku terhenti, ketika berada di depan tempat duduk yang biasa kita duduki, dulu. Aku melihat di sekeliling dan tak ku sangka akan menemukannya. Memori itu, saat semuanya berawal. Saat kau tiba-tiba mengajakku pulang bersama. Duduk di tempat ini dan kau menatapku lalu menyatakan, tiga kata yang tak pernah ku duga sebelumnya dan akan mengubah segalanya. Aku begitu bahagia di saat  Aku kamu menjadi kita. Lucu ketika mengingat semuanya terjadi secara tidak sengaja. Sesuatu yang awalnya biasa menjadi begitu berarti.
            Dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, enam bulan aku menyadari bahwa aku benar-benar menyayanginya. Semuanya berlalu biasa saja. Tapi, tak pernah terpikir olehku bahwa kita akan menjadi seperti ini, tak pernah terpikir cintaku akan sesakit ini. Aku tahu semuanya akan berakhir. Ah tidak, aku tak ingin mengingatnya. Aku tutup lagi semua memori itu dan bergegas bangkit dari tempat duduk kita. Kualihkan pandanganku kepada sekeliling. Aku perhatikan satu per satu orang-orang di sekitar. Mereka sama sekali tidak peduli padaku. Sibuk sendiri. Bahkan, mereka sama sekali tidak tahu akan kehadiranku. Baiklah, sudah cukup hari ini aku kemari. Aku segera beranjak dari tempat duduk kita. Melangkahkan kakiku untuk menyusuri trotoar lagi. Aku pikir, selamanya kau bisa berada disini, di sisiku. Selamanya aku bisa menatapmu. Apakah kamu tahu rasanya ketika seseorang yang sangat berarti tiba-tiba pergi dari hidupmu? Sedih, kecewa itu yang aku dapat. Sudah pasti. Namun rasa sayangku masih lebih kuat untuknya.
            Terlalu lama aku mengekang semua emosi ini. Terlalu lama aku berselimut kenangan itu. Terlalu cepat kau meninggalkanku. Aku menghentikan langkahku. Pikiranku seketika melayang, saat kau mengatakan itu, dulu. “Ra, aku saying, sayang banget sama kamu. Tapi, maaf aku nggak bisa ngelanjutin kisah kita. Aku nggak mau masuk terlalu dalam lagi Ra. Aku harus pergi! Aku harus pergi untuk sembuh. Ada satu hal yang perlu kamu lakuin ke aku. Janji? Tolong berjanjilah padaku untuk tidak mengingatku lagi. Maaf, Ra.” Aku tahu, aku salah mengingkari janji kita. Tapi Gar, aku nggak bisa. Aku nggak bisa, Edgar! Tanpa terasa air mataku mulai mengalir di pipiku mengikuti lekuk wajahku, kuresapi setiap rasa sakit di dada ini. Emosiku berantakan ketika mengingat memori itu. Aku kehilangan arah, Gar. Aku buta. Aku mengikuti kemana langkah kakiku berlari. Berlari meninggalkan semua memori payah dalam ingatanku. Aku ingin ketemu kamu, Gar. Batinku. Dan sampailah kaki ini berhenti, tepat dimana seharusnya aku berhenti.
            Aku mengusap keringat di dahiku. Capek. Aku hirup udara sejuk di sekitarku dan memperhatikan sekeliling tenang sekali. Suasana disini tenang, pantas saja Edgar betah, desahku. Hm, Ternyata tidak pernah berubah. Masih saja sama. Meskipun sekarang lebih berantakan. “Edgar jorok ih!” Ucapku langsung berbalik karena takut menatap Edgar. “Hai, Edgar. Apa kabar?” Tanyaku masih membelakangi Edgar. Ih, aku menunggu jawabannya, tapi Edgar hanya diam. Edgar…” Panggilku lirih. “…Aku minta maaf udah ngelanggar janji dari kamu. Masih ingat kan? Jujur Gar, aku nggak sanggup buat ini semua. Kenapa kamu tega ninggalin aku? Kenapa? Edgar jawab aku!” Suaraku mulai menaik. Aku berbalik dan memberanikan diri memeluk Edgar. Memeluk Edgar yang terbaring dalam tidur panjangnya. Aku menangis sekencang-kencangnya. Meluapkan segala kesedihan dalam dada ini. Melepaskan semua kerinduan yang telah lama tertinggal. Meneteskan air mata dalam emosi tak terkendali ini. “Terasa lega dan nyaman. Terasa hangat dan walaupun aku tahu kau tak akan pernah bisa kembali untuk menemuiku, bertegur sapa padaku, ataupun memelukku…” Tangisku pecah kembali, menggenggam tanahmu lebih keras.
            “…Memang terkadang apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Lalu, aku mengetahui bahwa kau tak akan pernah kembali. Mungkin aku terlalu egois karena tidak bisa melihat kenyataan ini. Karena selama ini yang aku tahu, kebahagiaan itu adalah kamu. Aku sayang kamu, Gar. Seharusnya aku sadar, akan jarak yang memisahkan kita. Akan ruang yang telah berbeda. Aku mencoba, Gar. Mencoba untuk melepaskan semua ini, tapi tentu saja tidak mungkin melupakannya. Jadi biar seperti ini saja. Kenanganmu, kenangan kita, tetap tinggal di satu sisi hati kecilku.” Aku menghapus air mata yang terjatuh di pipiku, untuk terakhir kalinya. Aku ambil seikat bunga kesukaanmu, Scarlett Pimpernel dari dalam tasku. Lalu aku letakkan di atas tempatmu terbaring tidur. Aku sebait doa untukmu, Edgar. Perlahan aku berdiri dan berbalik, meninggalkanmu sendiri disini, Edgar. Terkadang aku merasa sesuatu, Gar. Kerinduan. Rindu kamu. Tapi, ceritanya sudah berakhir, aku ingin membuat cerita yang baru dengan tokoh yang berbeda. Iya, aku dan kamu yang lain.