Untuk kesekian kalinya surat-surat ini kutulis di atas
kertas putih kosong. Ya, kertas itu kosong
setelah beberapa tahun silam kucoret-coret dengan tinta kepahitan. Yang kusebut
kenangan terindah, namun kini semua itu menjelma jadi tusukan duri yang hampir
rapuh. Hingga kubiarkan saja rapuh, agar ia segera hilang dari ingatanku. Ku
genggam jiwa yang kusebut cinta, agar ia tetap menjadi penghuni
di hatiku yang renta ini. Ku genggam senyuman insan yang kumiliki agar ia
memperindah lembah hati yang sunyi ini menjadi seberkas bianglala. Sangkaku salah.
Genggaman semakin erat cinta itu semakin pudar, hilang.
Senyum itu semakin hambar aku sruput bak kopi hitam yang mendingin sedari dulu.
Aku lepas!
Aku hilang kendali!
Aku jatuh, Sakit!
Aku berteriak seperti burung cangak yang meneriakkan
suaranya di malam yang pekat.
Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan, atau jajanannya.
Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan, atau jajanannya.
Sesekali ku panggil
ibu..
Sesekali ku gapai
ibu..
Sesekali ku
bertelepati dengan ibu..
Namun ibu tetaplah jauh dari hatiku. Tetaplah di sudut kota
kelahiranku, dan aku. Aku di sudut kota yang ku sebut lembah sunyi. Lembah
sunyi yang menghilangkan cinta dari hatiku. Lembah sunyi yang menyudutkanku
terus menerus semakin dalam, dalam, dan dalam. Tanpa penerangan, tanpa lentera.
Namun aku masih memgang sebuah tongkat yang diturunkan dari syurga, Ibu.
Tongkat itu adalah ibu.
Di dalam lembah sunyi, ku terus berjalan menyusuri lorong
waktu. Yang ku tahu waktu itu seperti kereta yang hanya berhenti di stasiun
saja. Setelah ia pergi, maka ia tidak akan peduli dengan penumpangnya yang
ketinggalan. Aku tidak mau! Aku tidak mau ketinggalan waktu itu. Aku bangkit
dan berjalan di atas kerikil-kerikil tajam yang terinjak kakiku. Kemana? Untuk
apa? dan pada siapa aku akan melabuhkan diriku ini. Allah. Allah yang akan
menampungku, bebanku, tangisku, juga semua yang ku angkut bersama jiwa yang tak
sepadan dengan-NYA.
Terus dan terus ku melaju. Akhirnya kutemukan setitik cahaya
pengganti hilangnya Cintaku. Persahabatan. Persahabatan yang kurasakan sungguh
ini baru pertama kali. Kuraba ia sangat membingungkanku. Bagaimana tidak? Aku
yang ingin berbagi kasih bersamanya, namun mereka menghadirkan sekelumit cinta.
Antara segitiga yang ku tahu tidak akan menemukan kesejajaran. Persahabatan
yang menyita pikirku tidak sejalan dengan nuraniku. Aku telah dihadapkan dengan
persimpangan. Arah mana yang akan aku tapaki? Atau aku akan berputar arah yang
telah jauh aku tinggalkan? “TIDAK!!” teriaku dalam hati. Aku tidak akan
berputar arah lagi. Aku akan terus berjalan, berjalan dan berjalan mengikuti
lorong waktu itu. Aku yakin lorong waktu itu belumlah sampai pada tujuanku.
Benar. Itu belum sampai.
Ah, aku tidak peduli lagi dengan persahabatan yang menyita
waktuku itu. Yang menghadirkan persimpangan di hadapku. Kuteruskan saja jalan
ku, ku lanjutkan saja menjadi masinis yang mengemudikan kereta ku. Lama, ya
terlalu lama aku mengemudikannya. Terkadang aku lelah, terkadang aku jenuh,
terkadang aku sepi. Tapi, tunggu! Bukankah di depan itu ada setitik cahaya yang bisa kutangkap dengan mataku.
Senyumku renyah saat kutemui itu memang benar-benar cahaya. Cahaya yang awalnya
memberi kehangatan bagiku. Cahaya yang awalnya memberi penerangan bagi jalanku.
Cahaya yang kurasakan bahagia bila ia mengecup hatiku. Cahaya yang mencuatkan
cinta untukku. Bahagia bukan? YA, aku bahagia atas hadirnya cahaya itu. Cahaya
yang ku sebut Cinta. CINTA? lagi-lagi cinta. Tidak.. ini bukan cinta. Ini
adalah sepercik dari kilatan cahaya sejati yang aku rasakan sesaat saja.
Seiring waktu yang berputar namun pasti. Aku merasakan lagi
kehambaran, keredupan atas cahaya itu. Semakin hari semakin gelap, pekat.
Cahaya itu hilang, melayang tiada kudapatkan lagi. Kumencari-cari sampai ke
sela tumpukan jerami, namun tiada kutemui. Kutanyai pada malam-malam yang
berbintang, tetap saja ia membisu. Atau cahaya itu menyinggahi hati yang lain,
setelah tahu hatiku ini terasa hambar, pahit.
Aku terduduk lesu menyaksikan cahaya itu menerangi hati yang
lain. Hingga mata ini menghadiahkan hujan yang tiada reda untuk kuusap sekilas
saja. Ranting yang mulai mencabangkan akar-akar cinta, kini merapuh lagi. Bunga
yang ingin terkecup oleh wangi cahaya cinta, akhirnya layu juga. Hingga ku
terbangun dari mimpiku, dan menyusuri lorong waktu kembali. Sekelumit
cahaya-cahaya cinta itu hanyalah hilirnya saja. Biar kubawa sepenuh hatiku yang
hancur ini berjalan menemui hulu sang pencipta Cinta. Karena aku tahu cinta
suci itu akan bertumpu pada ALLAH..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar